Agen Perubahan, Kolaborasi dan Komunikasi Menjadi Kunci Perubahan Iklim pada Era Normal Baru
BRO, Pandemi covid-19 mengubah banyak hal, tidak hanya pada sektor kesehatan dan ekonomi, pandemi juga memengaruhi keadaan perubahan iklim. Kondisi perlawanan terhadap covid-19 memasuki fase yang disebut New Normal atau Adaptasi dengan kebiasaan baru.
Untuk dapat menjaga kelestarian lingkungan serta alam pada era new normal dan memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati pada tanggal 5 Juni 2020, Center for Public Relations, Outreach and Communication (CPROCOM) kembali menggelar Climate Communication Forum (CCF) bertajuk “Urgensi Komunikasi Lingkungan dan Perubahan Iklim di Era Normal Baru” pada hari Jumat 5 Juni jam 09.30-11.30 di Bogor melalui zoom meeting.
Kegiatan webinar ini merupakan kerja sama
dengan The Climate Reality Project Indonesia, Yayasan Mitra Hijau, Pusat Studi
Komunikasi Lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dan Society
of Indonesian Environmental Journalists.
“CPROCOM terus menyuarakan komunikasi transformasional untuk menggerakkan seluruh elemen masyarakat bertindak menjaga kondisi alam pada era normal baru yang kondisinya lebih baik dari masa sebelum terjadinya wabah Covid-19,” demikian pernyataan pendiri dan CEO CPROCOM yang juga bertindak sebagai moderator Dr. Emilia Bassar—yang akrab disapa Emil melalui siaran pers kepada Si Bro.
Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. I. Wahyu Marjaka, M.Eng., menjelaskan bahwa new normal menjadi tantangan sekaligus peluang bagi kita semua. Emisi dari transportasi dan industri menurun sangat signifikan. Harga bahan bakar minyak, baik minyak bumi, gas maupun batubara menurun signifikan karena berkurangnya konsumi energi untuk transportasi dan industri. Di sisi lain, emisi konsumsi rumah tangga meningkat.
“Kualitas udara masa pandemi ini sangat mendukung perbaikan kualitas lingkungan. Kita bisa melakukan recovery dan healing. Peluang dan tantangan untuk mempertahankan perbaikan kualitas lingkungan menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga konsumsi energi dan pengendalian emisi polutan dan emisi gas rumah kaca,” jelas Wahyu.
Kemudian, Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Pendiri Clean Indonesia Channel, yang juga pakar efisiensi energi dan pasar karbon Dicky Edwin Hindarto setuju bahwa penggunaan energi untuk perkantoran, sekolah, jalan raya, dan industri, sekarang berpindah ke rumah tangga sehingga ada kecenderungan pemakaian energi akan lebih boros. Ia menambahkan bahwa di berbagai negara terjadi penurunan konsumsi energi secara drastis karena adanya lockdown dan pembatasan kegiatan ekonomi.
“Permintaan minyak dunia bisa berkurang 9%, dan kembali seperti tahun 2012 karena berkurangnya konsumsi BBM untuk transportasi dan industri, sedangkan permintaan batubara diproyeksikan turun 8% karena penurunan kebutuhan listrik. Untuk permintaan akan gas juga diproyeksikan akan turun lebih dalam setelah kuartral pertama 2020. Begitu pula permintaan akan energi nuklir akan turun karena turunnya kebutuhan listrik. Namun, permintaan akan energi terbarukan justru diproyeksikan akan meningkat karena keandalannya di sisi keberlanjutan pasokan,” ujar Dicky.
Apakah komunikasi efisiensi energi masih diperlukan? Menurut Dicky, selama ini kampanye hemat energi banyak dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dan NGO. Kebanyakan kegiatan komunikasi tersebut sebelum masa pandemi Covid-19 dilakukan tanpa strategi komunikasi yang baik dan berkelanjutan. Sementara, di masa pandemi sangat sedikit kegiatan kampanye hemat energi.
“Padahal di masa pandemi ini, masyarakat dan semua pihak jauh lebih membutuhkan komunikasi untuk efisiensi energi. Kampanye hemat energi harus terus dilakukan sehingga pada saat keadaan lebih baik, semua akan lebih hemat,” jelas Dicky.
Lalu, bagaimana kita melakukan komunikasi yang efektif untuk penanganan perubahan iklim pada masa pandemi Covid-19 ini? Manager The Climate Reality Project Indonesia Amanda Katili Niode, Ph.D, memaparkan bahwa sebuah penelitian dari Amerika Serikat yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk melakukan komunikasi iklim selama Covid-19 dapat diakses di laman climateoutreach.org.
Penelitian tersebut menegaskan bahawa kita harus tetap berbicara tentang krisis iklim dan tetap mengubah gaya hidup jangka panjang. Hal yang paling penting adalah ketahanan dan kesiapan kita bukan kembali normal.
Salah satu cara kita berkomunikasi tentang iklim adalah storytelling yang dapat menceritakan aksi nyata dan lainnya.
“Storytelling sangat berguna pada masa sekarang, karena kita tidak cukup hanya menyampaikan fakta dan data. Untuk mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat, perlu ada storytelling mengenai krisis lingkungan hidup agar masyarakat dapat mengingat sesuatu dan paham,” kata Amanda.
Wahyu sepakat bahwa perlu dilakukan pendekatan komunikasi efektif untuk penanganan perubahan iklim di masa pandemi ini. Kegiatan komunikasi terutama ditujukan bagi generasi muda yang dapat melakukan provoke dan influence ke publik untuk mengambil peluang menjadi lingkungan hidup yang lebih baik pada masa Covid-19 dan new normal.
Pemuda juga dapat menjadi leader perubahan sikap dan tatanan hidup hemat energi, serta ramah lingkungan menuju berkelanjutan.
Komunikasi perlindungan satwa akibat terjadinya perubahan iklim menjadi tantangan tersendiri. Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Dr. Herlina Agustin, M.T., menjelaskan bahwa banyak penurunan spesies yang terjadi di Indonesia karena disebabkan perubahan iklim, eksploitasi alam berlebihan, alih fungsi hutan, dan hilangnya habitat.
“Belum lagi adanya perburuan satwa besar-besaran, perdagangan tanpa kendali, invasi tanaman dan satwa global, dan rekayasa genetika,” ujar Herlina yang akrab disapa Titin.
Media mempunyai peran penting dalam menginformasikan apa itu lingkungan hidup dan perubahan iklim, serta bagaimana dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu, bagaimana memopulerkan isu-isu lingkungan hidup dan perubahan iklim agar menjadi perhatian masyarakat.
Namun, menurut Ketua Umum Society of Indonesian Environmental Journalists yang juga jurnalis VIVA.co.id Rochimawati menjelaskan bahwa isu lingkungan dan perubahan iklim bukan menjadi ‘anak emas’ di media.
Meski demikian, media nasional dan lokal sudah cukup banyak melakukan peliputan tentang masalah lingkungan hidup. Tidak ada kanal khusus untuk isu lingkungan di media. Biasanya isu lingkungan masuk ke kanal berita atau keilmuan.
“Persoalan kita yaitu isu lingkungan tidak seksi. Jurnalis tidak paham isu lingkungan karena terlalu berat dan kurang populer di masyarakat,” ujar Rochimawati.
Agar isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi perhatian media, peneliti yang akrab disapa Ochi menyarankan untuk melakukan kolaborasi jurnalis, akademisi, peneliti, praktisi, dan pegiat lingkungan untuk menulis isu lingkungan dan perubahan iklim di media mainstream maupun media alternatif yang jumlahnya semakin banyak.
Acara berlangsung lancar dengan suasana yang hangat. Peserta antusias menyimak paparan dan menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan menghidupkan diskusi interaktif.
Emil, sebagai moderator menutup webinar dengan menyatakan bahwa kita bisa memulai langkah-langkah kecil untuk melakukan aksi menjaga lingkungan dan turut menangani perubahan iklim sesuai kapasitas kita. Kondisi alam yang lebih baik di masa pandemi ini menjadi pelajaran berharga, bahwa nyata ada peluang besar bagi kita semua untuk bersinergi menjaga bumi tetap lestari.
Penulis: Robby Firliandoko
Editor: Robby Firliandoko