Soal Omnibus Law, PWI Kota Bogor Tolak Pemodal Asing

BOGOR KOTA-BRO, Insan pers Indonesia belakangan ini mulai berbalik arah dukungan terkait Omnibus Law, yang didengungkan Presiden Joko Widodo. Semula, mayoritas jurnalis Tanah Air mendukung RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut.
Masyarakat jurnalis Indonesia mulai berteriak menolak Omnibus Law setelah naskah awal atau draft Omnibus Law diserahkan ke DPR RI. Alasannya, RUU tersebut mengutak-atik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ada dua pasal yang mau diutak atik, yaitu tentang modal asing dan sanksi administratif.
Untuk diketahui, Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang sekarang masih berlaku, dalam ayat (1) disebutkan, Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Dalam dalam ayat (2) disebukan, Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Adapun dalam Pasal 11 draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja disebutkan, Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
“Pasal ini secara tidak langsung membuka atau malah mengajak pihak asing ikut dalam pengelolaan pers Indonesia, ” kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bogor Arihta Utama Surbakti saat menyatakan sikapnya terkait Omnibus Law di kantornya, Selasa (18/02/2020).
Ketua PWI Kota Bogor tegas menyatakan tidak setuju dengan masuknya modal asing dalam perusahaan pers nasional. Sebab, kepemilikan asing dikhawatirkan mempengaruhi marwah dan independensi media di Indonesia.
“Sepatutnya ditolak demi independensi serta marwah pers nasional. Pers Indonesia harus dimiliki oleh pemodal nasional dan sudah harus dimulai permodalan pers oleh publik/saham publik. Jadi publik ikut dalam kepemilikan perusahaan pers,” tegas pria yang akrab disapa Arie.
Arie juga menentang sanksi administratif disebutkan dalam Pasal 3 Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja berbunyi, Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
“Sanksi administratif maupun hukum kepada pers atau lembaga pers yang melakukan perbuatan melawan hukum atau administratif, memang harus ada. Karena pers tidak juga harus superbody,” tegas jurnalis jebolan Universitas Islam Bandung itu.
Ia menyebutkan, sejauh perubahan dalam UU Pers ini proporsional serta untuk keseimbangan profesi jurnalis, revisi atau amandemen patut dilakukan.
Tetapi, lanjut dia, kalau sanksi administrasi itu merupakan ikhtiar pemerintah untuk menghidupkan kembali campur tangannya terhadap pers seperti era orde baru, maka harus dilawan.
“Sebab UU Pers yang ada sekarang ini sangat menjaga independensi pers Indonesia,” pungkas mantan jurnalis di Tempo ini.
Penulis Naskah:Bogor Kita. Com
Editor :Azwar|Bro-2