IndeksNews

DGB IPB University Beri Catatan Kritis Terhadap RUU Cipta Kerja Pendidikan Tinggi

BRO. Ketua Dewan Guru Besar (DGB) IPB University Prof Evy Damayanti mengaku telah menelaah dan memberi catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUUCK) tentang arah dunia pendidikan tinggi ke depan.

Menurut Evy terkait dengan pendidikan tinggi tersebut, setidaknya terdapat tiga undang-undang (UU) yang akan diubah, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta  Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Baca Juga: Pandemi Covid-19, IPB Dorong Akselerasi Petani Gunakan Teknologi 4.0

“Yang perlu diantisipasi dalam perubahan itu antara lain mengenai besarnya potensi konflik etika, akibat penerapan strategi taktis memudahkan investasi untuk memproduksi tenaga kerja sambil menafikan norma-norma kebangsaaan maupun pilar normatif kebebasan akademik dalam kehidupan perguruan tinggi,” kata Prof Evy dalam konferensi pers yang digelar secara daring melalui aplikasi Zoom di Bogor, Senin (29/06/2020) pagi.

Menurutnya, masukan ini telah dibahas melalui seminar daring (webinar) yang dilaksanakan pada 11 Mei 2020 dan diikuti oleh Prof Nizam, Plt Dirjen Dikti Kemendikbud, Dr Ir Hetifah Syaifudin, MPP dan Ferdiansyah, SE, MM, Komisi X DPR-RI.

Hal-hal yang dianggap paling krusial bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi yakni perubahan isi UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam RUU Cipta Kerja, seperti hapusnya sumber norma kebudayaan bangsa sebagai dasar pelaksanaan pendidikan.

Baca Juga: Jalankan Amanat Presiden, IPB University Buka Program Studi Magister Logistik Agro-Maritim Tahun Ini

“Seperti tertuang dalam perubahan Pasal 1 angka 2 UU ini, serta perubahan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang lebih mengikuti mekanisme pasar. Terkait dengan hal ini, perubahan Pasal 63 menghapus prinsip nirlaba dalam penetapan otonomi pengelolaan perguruan tinggi,” katanya.

Ia menyebutkan, pendapat DGB IPB University bahwa kebudayaan bangsa tidak dapat dihilangkan demi meningkatkan persaingan, apalagi harus selalu beradaptasi dengan pendidikan luar negeri. Hendaknya landasan kebudayaan bangsa tetap dipertahankan sesuai dengan Pasal 28C (1) dan Pasal 31 (3), UUD 1945.

“Argumen yang kita sampaikan adalah
kebudayaan bangsa bukan merupakan penghambat peningkatan daya saing global dan adaptasi dengan pendidikan tinggi luar negeri. Peningkatan daya saing global dan adaptasi dengan pendidikan luar negeri lebih mudah dicapai melalui program akreditasi internasional untuk program studi dan kerjasama internasional di bidang pendidikan melalui double degree, joint degree, credit earning, student exchange, maupun joint research,” ungkapnya.

Baca Juga: Amankan Pasokan Pangan di Masa Pandemi Covid-19, IPB University Minta Petani dan Nelayan Dilindungi

Program-program tersebut, kata dia, selama ini sudah ada tetapi kurang intensif. Negara harus hadir secara nyata agar program-program tersebut semakin intensif dan berdampak besar bagi peningkatan daya saing global dan adaptasi dengan pendidikan luar negeri.

“Kebudayaan bangsa Indonesia dan sejumlah kekhasan sosial dan keanekaragaman hayati tropika justru dapat menjadi tema kerja sama yang menarik bagi pimpinan dan akademisi universitas sebagai mitra dari negara maju,” jelasnya.

Selain itu, seni budaya Indonesia yang beragam dan teknologi berbasis budaya serta kearifan lokal menjadi ciri pendidikan di Indonesia yang justru banyak diadopsi oleh mahasiswa manca negara.

“Sebagai bentuk referensi, kemajuan pendidikan tinggi di Malaysia, justru mengedepankan norma budaya melayu,  yang disebut dalam UU dan pelaksanaannya,” ujarnya.

Hal paling krusial lainnya adalah tentang  perubahan pada Pasal 33 ayat (6) dan (7), bahwa program studi tidak wajib diakreditasi dan oleh karena itu tidak dapat dicabut izinnya, yang semula dapat dicabut berdasarkan pada hasil akreditasi itu.

“Pendapat kami akreditasi tetap diperlukan untuk memberikan jaminan mutu pendidikan dan perlindungan masyarakat, sekalipun itu terhadap perguruan tinggi asing. Untuk kepentingan nasional, akreditasi nasional program studi perlu juga ditempatkan sebagai tahapan mencapai akreditasi internasional,” katanya.

Tak hanya itu, dalam memudahkan investasi pada pendidikan tinggi tanpa standar akreditasi yang diterapkan, menurutnya, dapat menurunkan kualitas pendidikan tinggi.

“Kehadiran sistim akreditasi pendidikan tinggi disamping untuk kepentingan institusi, juga menyangkut kepentingan alumni terkait pengembangan kariernya, terutama yang akan menuju jenjang guru besar,” katanya.

Permasalahan yang muncul akibat akreditasi, seperti pembiayaan, asesor, sistem asesmen, diatasi dengan cara memperbaiki sistem akreditasinya, seperti antara lain mendorong hadirnya Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi (LAM-PT),  pelaksanaan asesmen secara daring dan kunjungan ke lapangan secara selektif dan lain-lain.

“Dengan demikian kekhawatiran adanya penumpukan berkas yang harus diases, ketiadaan pembiayaan dapat teratasi dan masyarakat tetap mendapatkan keyakinan akan mutu pendidikan tinggi yang ada,” paparnya.

Kemudian, terkait perubahan pada pasal 35 menyebabkan kurikulum yang dikembangkan wajib mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Namun demikian, ketentuan mengenai Standar Pendidikan Tinggi tersebut pada Pasal 54 dihapus.

“Pendapat DGB IPB, Standar Pendidikan Tinggi Nasional tetap diperlukan dan dinyatakan dalam Undang-undang.

Argumennya pengaturan dalam Undang-undang sudah tepat dan tidak ada alasan yang kuat dan mendesak untuk menghapus pasal ini dari Undang-undang karena pasal ini bukan merupakan penghambat,” jelasnya.

Jika ada ketentuan dalam Undang-undang yang belum dapat dipenuhi Pemerintah maka Pemerintahlah yang justru harus meningkatkan kapasitasnya untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.

“Tak hanya itu, dalam perubahan Pasal 90 segala bentuk persyaratan perguruan tinggi asing, dihapus. Dalam UU Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi asing yang akan mendirikan kampusnya di Indonesia harus terakreditasi di negaranya, ketentuan mengenai di daerah mana mereka boleh berdiri, jenis dan program studi apa yang boleh dikembangkan, kewajiban kerja sama dengan perguruan tinggi lokal, serta harus mengutanakan dosen dan tenaga pendidikan warga negara Indonesia,” ujarnya.

Pihaknya berpendapat perguruan tinggi asing harus terakreditasi di negaranya, dan juga diakreditasi oleh lembaga akreditasi di Indonesia.

“Walaupun model penyusunan RUU Cipta Kerja menggunakan pendekatan open legal policy, sehingga sejumlah norma hukum tidak lagi diatur dalam Undang-undang, tetapi diserahkan langsung ke peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah, akan mengandung risiko yang besar. Jadi sebaiknya risiko tersebut dihindari,” kata dia.

Menurutnya, jangan sampai karena mengejar fleksibilitas perumusan kebijakan, Indonesia dibanjiri perguruan tinggi yang belum tentu memberikan manfaat nyata bagi bangsa. Banyak negara lain (misalnya Jepang) yang berhasil meningkatkan daya saing global bukan dengan membuka perguruan tinggi asing, tetapi dengan fokus menggerakkan kemampuan perguruan tingginya dalam melakukan riset dan mengembangkan inovasi termasuk kerjasamanya dengan industri.

“Untuk itu, perguruan tinggi asing harus terakreditasi di negaranya, dan juga diakreditasi oleh lembaga akreditasi di Indonesia. Jenis program studi perlu dibatasi terutama yang benar-benar dibutuhkan untuk menunjang pembangunan dan perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia, dan lokasi perguruan tinggi asing sebaiknya hanya diizinkan berdiri di kota besar Indonesia, sehingga dapat menjadikan daya saing positip bagi Perguruan Tinggi terkemuka di kota tersebut,” katanya.

Selain itu, tentang Kewenangan Menteri (Pendidikan) dalam RUU Cipta Kerja dihapus dan diganti dengan kewenangan Pemerintah Pusat. Demikian pula Peraturan Menteri diubah menjadi Peraturan Pemerintah.

“Kami berpendapat pengalihan kewenangan seperti itu justru berpotensi menghambat proses penjabaran dan pelaksanaan oleh kementerian yang berwenang. Karena penarikan kewenangan pengaturan hal-hal yang bersifat sektoral ke tingkat yang lebih tinggi yaitu dari Peraturan Menteri ke Peraturan Presiden justru dapat menghambat proses legislasi,” jelasnya.

Untuk memastikan ada sinkronisasi antar Peraturan Menteri yang diperlukan bukan penarikan kewenangan seperti itu, tetapi perumusan indikator kinerja pemerintah secara nasional yang tajam dan efektif dalam mengarahkan program kerja kementerian.

“Kita juga memberikan catatan kritis terkait perubahan isi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam RUU Cipta Kerja baik Pasal 53, 65, 67, 68 dan 69,” katanya.

Penulis: Redaksi Bro
Editor: Hari YD

Show More

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button