BRO. Bupati Bogor Ade Yasin meradang gegara semakin menjamurnya vila liar dan lapak usaha di daerah Puncak, Kabupaten Bogor. Saat ini, diperkirakan ada sebanyak 2.000 bangunan tak berijin. Keberadaan vila liar bakal menggerus resapan air dan lapak liar membuat kumuh kawasan wisata berudara dingin ini.
Tumbuh suburnya bangunan vila liar dan lapak usaha tak berijin, tidak terlepas dari lemahnya pengawasan ditingkat wilayah dan amburadulnya penataan tata ruang kawasan Puncak Bogor.
Seperti diketahui, Kawasan Puncak Bogor, merupakan kawasan hutan konservasi yang tidak bisa dibangun sembarangan. Tapi kenyataannya bangunan beton/vila tak berijin pun bermunculan sekalipun di perbukitan yang rawan longsor.
Ancaman serius kerusakan lingkungan akibat sporadis bangunan liar di Puncak, membuat Bupati Bogor Ade Yasin angkat bicara, apalagi terkait penertiban bangunan yang anggarannya mengandalkan APBD.
Menurut Ade Yasin , Pemkab Bogor, akan kesulitan apabila dipaksa untuk menertibkan bahkan membongkar 2.000 lebih bangunan liar di Puncak Bogor. “Anggaran kita terbatas, apabila mengandalkan dari APBD. Kita berharap ada bantuan dari pusat dan provinsi,” ungkap Ade Yasin.
Ia menyebut, bangunan liar yang dimaksud adalah vila vila dan lapak usaha yang kerap melakukan penebangan pohon termasuk pengikisan tebing. Bahkan Kerusakan lingkungan kawasan Hutan konservasi di Puncak, semakin parah dan tak terkendali.
“Kita juga enggak tahu, siapa yang mengeluarkan ijin. Tiba tiba muncul bangunan.Padahal kawasan hutan konservasi, tidak sembarangan ada bangunan.Ada regulasi,” keluhnya.

Oleh karenanya, banjir kerap melanda DKI Jakarta, Bogor selalu disalahkan karena kiriman banjir. Diakui Bupati Ade Yasin, salah satu penyebabnya banyaknya bangunan liar di kawasan Puncak yang merupakan hulu sungai Ciliwung.
“Ini berimbas pada rendahnya daya serap tanah di Puncak. Akibatnya air dari hulu tidak bisa tertahan dan langsung mengalir ke hilir,”katanya.
Bupati Ade Yasin juga sudah menyampaikan menyoal penanganan lingkungan harus dilakukan bersama sama dan terpadu. Bahkan bila terjadi kerusakan lingkungan, tidak hanya dibebankan ke pemerintah daerah.
Sementara itu, Direktur P4W IPB University Ernan, menyebut Kawasan Puncak sebagai “etalase” pelanggaran Tata Ruang. Berdasar hasil kajian P4W IPB terhadap penggunaan lahan berdasar RTRW 2005-2025, ketidakkonsistenan tata ruang di kawasan Puncak paling parah terjadi di Kecamatan Cisarua dan Megamendung.
Menurut Direktur P4W IPB University. Ernan, pada website lppm IPB University, Sekitar 23,53 persen pemanfaatan lahan di kecamatan tersebut tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah.
Di wilayah tersebut, sebagian hutan lindung telah berubah menjadi kebun teh dan semak.Sementara hutan konservasi sebagian telah berubah menjadi vila dan lahan pertanian.
Selain itu bentuk ketidakkonsistenan pemanfaatan tata ruang di kawasan tersebut juga terjadi di area hutan lindung (37,05 persen) dan hutan konservasi (17,53 persen).
Menurut Ernan, tata ruang kawasan Puncak dan Sungai Ciliwung seharusnya menjadi ikon dan etalase atau barometer idealisme pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia.
“Karena dampaknya berupa banjir bisa langsung dirasakan para pejabat di Jakarta yang berperan dalam pengelolaan tata ruang. Bahkan presiden pun pernah merasakan dampaknya,” katanya.
Namun faktanya, kawasan ini justru menjadi etalase kemewahan elite kota dengan vila-vilanya yang mempertontonkan secara jelas pelanggaran di atas penderitaan dan musibah yang menimpa masyarakat banyak.
Penulis : Redaksi Bro
Editor : Azwar Lazuardy