Peneliti Dunia Khawatir Dua Tahun Lagi Terjadi Ledakan Pernikahan Dini
BRO, Lembaga amal World Vision, Jumat (15/5/2020). Ahli isu perkawinan anak di World Vision, Erica Hall, menjelaskan, setiap kali terjadi krisis seperti konflik, bencana alam, atau pandemi seperti sekarang, tingkat perkawinan anak pasti naik.
“Kalau tidak segera dicegah, akan terlambat. Kita tidak bisa menunggu sampai krisis kesehatan ini berakhir dulu,” ujar Hall.
Dalam waktu dua tahun ke depan, akan ada sedikitnya empat juta anak perempuan di seluruh dunia yang terancam dinikahkan dini oleh orangtua mereka gara-gara dampak dari pandemi Covid-19.
Kesulitan ekonomi akibat kehilangan pekerjaan dan faktor putus sekolah karena ketiadaan biaya menjadi alasan kuat orangtua, khususnya keluarga miskin, untuk menikahkan secara dini anak-anak mereka.
Resiko perkawinan anak ini meningkat karena sekolah-sekolah ditutup sebagai bagian dari upaya mencegah persebaran wabah korona. Hingga kini, tidak ada kepastian kapan sekolah akan kembali dibuka.
Tanpa adanya sekolah, anak-anak perempuan tidak dapat mengakses informasi dan layanan kesehatan reproduksi. Ini berarti, risiko hamil di luar nikah pun tinggi. Jika sudah hamil, maka tekanan orangtua untuk segera menikah juga semakin kuat.
Di seluruh dunia diperkirakan setiap tahun ada 12 juta anak perempuan berusia di bawah 18 tahun yang dinikahkan dini.
Kembali ke sekolah
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada bulan lalu, menyebutkan bahwa akibat pandemi Covid-19 ini, dalam waktu 10 tahun ke depan akan ada tambahan 13 juta kasus perkawinan anak.
Girls Not Brides, jaringan dari 1.400 organisasi di dunia yang memperjuangkan penghentian perkawinan anak, mengatakan, dampak pandemi Covid-19 ini mengkhawatirkan. Padahal, selama ini fenomena perkawinan anak dapat dikurangi.
Direktur Eksekutif Girls Not Brides, Faith Mwangi-Powell, khawatir bahwa kasus-kasus perkawinan anak akan banyak terjadi di India, Afrika, dan Amerika Latin.
Yang paling dikhawatirkan selama pandemi Covid-19 adalah justru penutupan sekolah. Sebab, kata Mwangi-Powell, selama ini sekolah berhasil melindungi anak-anak perempuan dari tekanan perkawinan.
Namun, kini kekhawatiran itu muncul lagi karena sebagian orang berpandangan bahwa tidak ada alasan lain bagi anak perempuan untuk tidak dinikahkan dini.
“Bahkan, saya khawatir pasca-Covid-19 ini pun banyak anak perempuan tidak akan kembali ke sekolah. Kita harus memastikan mereka kembali ke sekolah,” kata Mwangi-Powell.
Hall mengatakan, saat ini diketahui sudah ada sejumlah kasus perkawinan anak di Sudan Selatan, Afghanistan, dan India.
World Vision, yang bekerja sama dengan kepolisian, sudah menghentikan tujuh kasus perkawinan anak setelah mendapat laporan melalui saluran bantuan lewat telepon.
Kebijakan karantina juga dikhawatirkan akan menjadi legitimasi orangtua untuk menikahkan anak mereka. Apalagi di kalangan keluarga miskin atau kelas menengah yang jatuh miskin.
Alasannya, kata Hall, banyak orangtua yang menikahkan anak perempuannya lebih dini hanya karena ingin mengurangi beban anak yang harus mereka hidupi. Selain itu, juga ada alasan bahwa agar orangtua mendapatkan mas kawin dari calon suami anaknya.
Perkawinan dini anak ini menjadi semacam strategi bertahan hidup. Ini bukan berarti orangtuanya kejam, tetapi hal ini sering terjadi karena orangtua tidak punya pilihan lain untuk bisa tetap hidup,” kata Hall.
Penulis: Redaksi si Bro
Editor: Adi Kurniawan